KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha
Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas
kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada
kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini.
Makalah ini telah kami susun dengan
maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari
sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun
tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala
saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Kuningan, April
2017
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGATAR............................................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
A. Latar Belakang................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................. 2
BAB II KAJIAN
TEORITIS................................................................................ 3
A. Budaya Sunda.................................................................................................... 3
B. Kesenian Tradisional.......................................................................................... 4
C. Kesenian
Degung ............................................................................................. 7
BAB III PEMBAHASAN.............................................................................. ..... 26
A. Peran Generasi muda dalam Melestarikan Budaya Sunda Melalui Kesenian Tradisional Khususnya Kesenian Degung ........................................................................................... 26
B. Upaya-Upaya yang Harus Dilakukan Terhadap Kebudayaan Sunda yang Mulai
Punah Dikalangan Remaja........................................................................................................................ 28
BAB IV PENUTUP............................................................................................. 30
A. Kesimpulan...................................................................................................... 30
B. Saran................................................................................................................ 30
DAFTAR
PUSTAKA.......................................................................................... 31
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kebudayaan dan kesenian di Indonesia
semakin hari semakin terkikis. Masyarakat Indonesia semakin terpengaruh oleh
kebudayaan luar melalui perkembangan teknologi yang semakin canggih ini,
sehingga melupakan kebudayaan sendiri.
Indonesia merupakan negara yang
terdiri dari berbagai macam suku, budaya, dan adat istiadat. Indonesia terdiri
dari 33 provinsi, dengan kata lain terdapat banyak sekali suku, budaya, dan
adat istiadat. Hal tersebut merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya
bila dilihat dari segi seni, sejarah dan agama. Kekayaan tersebut bisa terwujud
dalam berbagai macam bentuk, mulai dari kesenian, sejarah, agama dan lain-lain.
Bila hal tersebut dikaji lebih jauh, akan mengandung ajaran dan gambaran dari
suku atau masyarakatnya sendiri yang memiliki karakter khasnya masing-masing.
Namun di tengah pesatnya perkembangan zaman yang sangat berpengaruh terhadap
budaya yang ada di dalamnya, menimbulkan adanya perubahan gaya hidup dari
masyarakat luas khususnya kalangan anak-anak muda yang terpengaruh oleh budaya
barat.
Salah satu perubahan dari generasi
muda penerus bangsa ini dapat dilihat dari berkurangnya perhatian, kesadaran,
minat serta ketertarikan generasi muda ataupun masyarakat pada umumnya terhadap
kesenian dan kebudayaan tradisional. Bila ditinjau dan dibandingkan dengan
kesenian dan kebudayaan yang sifatnya modern, generasi muda lebih tertarik
terhadap kesenian dan kebudayaan modern tersebut. Karena kesenian dan
kebudayaan modern bersifat lebih bebas, lebih segar dan lebih baru. Hal
tersebut sangatlah beralasan, karena waktu yang terus bergulir dan manusia pun
terus berkembang, sehingga kekhawatiran akan timbulnya berbagai masalah serta
isu dan tanda-tanda kepunahan kesenian dan kebudayaan pun harus jelas,
khususnya Budaya Sunda.
B.
Rumusan Masalah
1.
Mengetahui tentang Kesenian
Degung
2.
Bagaimana peran generasi muda dalam melestarikan budaya sunda melalui kesenian
tradisional sunda khususnya Seni Degung ?
3.
Bagaimana upaya-upaya yang harus
dilakukan terhadap kebudayaan sunda yang mulai punah di kalangan generasi muda ?
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A.
Budaya Sunda
Budaya Sunda adalah budaya yang
tumbuh dan hidup dalam masyarakat Sunda. Budaya
Sunda dikenal dengan budaya yang sangat menjunjung tinggi sopan santun. Pada
umumnya karakter masyarakat sunda adalah periang, ramah-tamah (soméah), murah
senyum, lemah-lembut, dan sangat menghormati orang tua. Itulah
cermin budaya masyarakat sunda.
Kebudayaan Sunda termasuk salah satu
kebudayaan tertua di Nusantara. Kebudayaan
Sunda yang ideal kemudian sering kali dikaitkan sebagai kebudayaan
masa Kerajaan Sunda. Ada
beberapa ajaran dalam budaya Sunda tentang jalan menuju keutamaan hidup. Etos
dan watak Sunda itu adalah cageur, bageur, singer dan pinter, yang
dapat diartikan "sembuh" (waras), baik, sehat (kuat),
dan cerdas. Kebudayaan Sunda juga merupakan
salah satu kebudayaan yang menjadi sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia
yang dalam perkembangannya perlu di lestarikan. Sistem kepercayaan spiritual
tradisional Sunda adalah Sunda Wiwitan yang
mengajarkan keselarasan hidup dengan alam. Kini, hampir sebagian besar
masyarakat Sunda beragama Islam, namun ada
beberapa yang tidak beragama Islam, walaupun berbeda namun pada dasarnya
seluruh kehidupan di tujukan untuk kebaikan di alam semesta. Kebudayaan Sunda memiliki ciri khas tertentu yang
membedakannya dari kebudayaan–kebudayaan lain.
Secara umum masyarakat Jawa
Barat atau Tatar Sunda, dikenal sebagai masyarakat yang lembut, religius,
dan sangat spiritual. Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo silih
asih, silih asah dan silih asuh; saling mengasihi (mengutamakan sifat welas asih), saling
menyempurnakan atau memperbaiki diri (melalui pendidikan dan berbagi ilmu), dan
saling melindungi (saling menjaga keselamatan). Selain itu Sunda juga memiliki
sejumlah nilai-nilai lain seperti kesopanan, rendah hati terhadap sesama,
hormat kepada yang lebih tua, dan menyayangi kepada yang lebih kecil. Pada
kebudayaan Sunda keseimbangan magis di pertahankan dengan cara melakukan
upacara-upacara adat sedangkan keseimbangan sosial masyarakat Sunda melakukan
gotong-royong untuk mempertahankannya.
Kebudayaan Sunda termasuk salah satu
kebudayaan suku bangsa diIndonesia yang berusia tua.Bahkan, dibandingkan
dengan kebudayaan Jawa sekalipun, kebudayaan Sunda sebenarnya termasuk
kebudayaan yang berusia relatif lebih tua, setidaknya dalam hal pengenalan
terhadap budaya tulis. "Kegemilangan" kebudayaan Sunda di masa lalu,
khususnya semasa Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda, dalam
perkembangannya kemudian seringkali dijadikan acuan dalam memetakan apa yang
dinamakan kebudayaan Sunda.
Kebudayaan Sunda
yang ideal pun kemudian sering dikaitkan sebagai kebudayaan raja-raja
Sunda atau tokoh yang diidentikkan dengan raja Sunda. Dalam kaitan ini, jadilah
sosok Prabu Siliwangi dijadikan sebagai tokoh panutan dan kebanggaan urang
Sunda karena dimitoskan sebagai raja Sunda yang berhasil, sekaligus mampu
memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya.
Suku Sunda merupaka suku yang
terdapat di Provinsi Jawa Barat. Suku Sunda adalah salah satu suku yang
memiliki berbagai kebudayaan daerah, diantaranya pakaian tradisional, kesenian
tradisional, bahasa daerah, dan lain sebagainya.
B.
Kesenian Tradisional
Seni
tradisional adalah unsur kesenian yang menjadi bagian hidup masyarakat dalam suatu kaum/puak/suku/bangsa tertentu. Tradisional adalah aksi dan
tingkah laku yang keluar alamiah karena kebutuhan dari nenek moyang yang
terdahulu. Tradisi adalah bagian dari tradisional namun bisa musnah karena
ketidamauan masyarakat untuk mengikuti tradisi tersebut.
Seni tradisional terdiri dari :
1.
Seni Primitif,
yaitu seni yang lahir dari bentuk kebudayaan yang paling awal dan belum
mendapat pengaruh dari luar.
2.
Seni klasik,
yaitu seni yang telah mengalami perkembangan dan penyempurnaan karena adanya
pengaruh dari luar.
Ciri-ciri seni tradisional :
1.
Penciptaannya
selalu berdasarkan pada filosofi sebuah aktivitas dalam suatu budaya, bisa
berupa aktivitas religius maupun seremonial/istanasentris.
2.
Terikat
dengan pakem-pakem tertentu.
Hampir seluruh seni
tradisional Indonesia mempunyai semangat kolektivitas yang tinggi
sehingga dapat dikenali karakter khas orang/masyarakat Indonesia, yaitu ramah
dan sopan. Namun berhubung dengan perjalanan waktu dan
semakin ditinggalkanya spirit dari seni tradisi tersebut, karakter
kita semakin berubah dari sifat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan
menjadi individual/egoistis. Begitu banyak seni tradisional yang dimiliki
bangsa Indonesia.
Seni sebagai media pengungkapan terbagi atas
5 cabang yaitu :
1.
Seni rupa,
yaitu seni yang mengungkapkan melalui media bahan, cat (pewarna),
garis dan bentuk. Seni rupa tradisional, contohnya patung wamena dari Papua.
2.
Seni musik,
yaitu seni yang diungkapkan melalui media bunyi – bunyian atau suara. Musik
tradisional, contohnya suling, angklung, serunai, rebab dan lain-lain.
3.
Seni Tari,
yaitu media seni yang diungkapkan melalui media gerakan tubuh. Tari
tradisional, contohnya tari reog ponorogo, tari serimpi, tari saman dan lain-lain.
4.
Seni sastra,
yaitu seni yang diungkapkan melalui media kata dan bahasa. Sastra tradisional,
contohnya mitos, legenda, hikayat, suluk dan lain-lain.
5.
Seni Teater,
yaitu seni yang diungkapkan melalui media kata, gerak, bunyi/suara dan rupa
(merupakan seni multimedia).Teater tradisional, contohnya lenong, ludruk,
kethoprak dan lain-lain.
Contoh-contoh seni tradisional nusantara:
1.
Seni Rupa
Tradisional
Perkembangan seni rupa tradisional
Indonesia sudah dimulai sejak zaman prasejarah. Meskipun tidak ada orang yang
tahu secara pasti kapan dimulainya zaman prasejarah. Periodesasi zaman
prasejarah di Indonesia dibagi menjadi beberapa periode di antaranya : zaman
batu dan zaman logam. Kedua zaman prasejarah ini, sama-sama memiliki karya
seni rupa ( tradisional ) hal itu dapat di buktikan dengan adanya
peninggalan-peninggalan yg berupa karya seni rupa yg bersifat tradisional
seperti kapak genggam, gelang, kalung, tembikar bahkan ada lukisan.
2.
Seni Musik
Musik nusantara adalah seluruh musik
yang berkembang di nusantara ini, yang menunjukkan atau menonjolkan ciri
ke-Indonesiaan, baik dalam bahasa maupun gaya melodinya. Musik Nusantara
terdiri dari musik tradisi daerah, musik keroncong, musik dangdut, musik
langgam, musik gambus, musik perjuangan, dan musik pop.
3.
Seni Tari
Tradisional Nusantara
Tari tradisional adalah suatu tarian
yang menggabungkan semua gerakan yang mengandung makna tertentu. Pada tari
tradisional mengandalkan ketepatan musik, keluwesan gerak, kekompakan gerakan, dan
pengaturan komposisi. Pada gerak tari tradisional, biasanya pada setiap tarian
mempunyai gerakan yang sama dan gerak tradisional tidak bisa diubah seperti
tari modern. Walaupun tari tradisional mempunyai gerak yang sama, tetapi
pada tiap-tiap tarian berubah susunan gerakannya.
4.
Seni Sastra
Tradisional
Sastra tradisional terdiri dari dua
kata yaitu kata sastra dan tradsional. Pengertian dari Sastra itu sendiri
adalah seni yang menggunakan bahasa. Bahasa yang digunakan dalam sastra berbeda
dengan bahasa sehari-hari. Bahasa dalam sastra diolah sedemikian rupa sehingga
menimbulkan nilai-nilai keindahan. Sedangkan tradisional artinya suatu tadisi
atau adat yang diwariskan secara turun temurun (menurut KBBI). Jadi sastra
tradisional adalah karya sastra yang diwariskan secara turun-temurun.
Adapun pengertian sastra tradsisonal
Menurut Mitchell, (2003:228): Sastra tradisional (traditionalliterature)
merupakan suatu bentuk ekspresi masyarakat pada masa lalu yang umumnya
disampaikan secara lisan. Manusia selalu berkomunikasi dan berekspresi sebagai
salah satu manifestasi eksistensi diri dan kelompok sosialnya. Cerita dan
tradisi bercerita sudah dikenal sejak manusia ada di muka bumi ini, jauh
sebelum mereka mengenal tulisan. Cerita merupakan sarana penting untuk memahami
dunia dan mengekspresikan gagasan, ide-ide dan nilai-nilai. Selain itu sastra
juga sebagai sarana penting untuk memahamkan dunia kepada orang lain, menyimpan
dan mewariskan gagasan dan nilai-nilai dari generasi ke generasi.
C. Kesenian Degung
Degung
adalah kumpulan alat musik dari sunda.
Ada
dua pengertian tentang istilah degung:
*
Degung sebagai nama perangkat gamelan
*
Degung sebagai nama laras bagian dari laras salendro ( berdasarkan teori
Machyar Angga Kusumahdinata).
Degung
sebagai unit gamelan dan degung sebagai laras memang sangat lain. Dalam teori
tersebut, laras degung terdiri dari degung dwiswara (tumbuk: (mi) 2 – (la)
5) dan degung triswara: 1 (da), 3 (na), dan 4 (ti).
Gamelan Degung
Ada
beberapa gamelan yang pernah ada dan terus berkembang di Jawa Barat, antara
lain Gamelan Salendro, Pelog dan Degung. Gamelan salendro biasa digunakan
untuk mengiringi pertunjukan wayang, tari, kliningan, jaipongan dan
lain-lain. Gamelan pelogfungsinya hampir sama dengan gamelan salendro, hanya kurang
begitu berkembang dan kurang akrab di masyarakat dan jarang dimiliki oleh
grup-grup kesenian di masyarakat. Hal ini menandakan cukup
terwakilinya seperangkat gamelan dengan keberadaan gamelan salendro,
sementara gamelan degung dirasakan cukup mewakili kekhasan masyarakat Jawa
Barat. Gamelan lainnya adalah gamelan Ajeng berlaras salendro yang
masih terdapat di kabupaten Bogor, dan gamelan Renteng yang ada di
beberapa tempat, salah satunya di Batu Karut, Cikalong kabupaten Bandung.
Melihat bentuk dan interval gamelan renteng, ada pendapat bahwa
kemungkinan besar gamelan degung yang sekarang berkembang, berorientasi
pada gamelan Renteng.
Sejarah
Degung merupakan salah satu gamelan khas dan asli hasil kreativitas masyarakat Sunda. Gamelan yang kini jumlahnya telah berkembang dengan pesat, diperkirakan awal perkembangannya sekitar akhir abad ke-18/awal abad ke-19. Jaap Kunst yang mendata gamelan di seluruh Pulau Jawa dalam bukunya Toonkunst van Java (1934) mencatat bahwa degung terdapat di Bandung (5 perangkat), Sumedang (3 perangkat), Cianjur (1 perangkat), Ciamis (1 perangkat), Kasepuhan (1 perangkat), Kanoman (1 perangkat), Darmaraja (1 perangkat), Banjar (1 perangkat), dan Singaparna (1 perangkat).
Degung merupakan salah satu gamelan khas dan asli hasil kreativitas masyarakat Sunda. Gamelan yang kini jumlahnya telah berkembang dengan pesat, diperkirakan awal perkembangannya sekitar akhir abad ke-18/awal abad ke-19. Jaap Kunst yang mendata gamelan di seluruh Pulau Jawa dalam bukunya Toonkunst van Java (1934) mencatat bahwa degung terdapat di Bandung (5 perangkat), Sumedang (3 perangkat), Cianjur (1 perangkat), Ciamis (1 perangkat), Kasepuhan (1 perangkat), Kanoman (1 perangkat), Darmaraja (1 perangkat), Banjar (1 perangkat), dan Singaparna (1 perangkat).
Masyarakat
Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di hulu sungai, kerajaan
Galuh misalnya, memiliki pengaruh tersendiri terhadap kesenian degung,
terutama lagu-lagunya yang yang banyak diwarnai kondisi sungai, di
antaranya lagu Manintin, Galatik Manggut, Kintel Buluk, dan Sang Bango. Kebiasaan
marak lauk masyarakat Sunda selalu diringi dengan gamelan renteng dan
berkembang ke gamelan degung.
Dugaan-dugaan
masyarakat Sunda yang mengatakan bahwa degung merupakan musik kerajaan atau
kadaleman dihubungkan pula dengan kirata basa, yaitu bahwa kata “degung”
berasal dari kata "ngadeg" (berdiri) dan “agung” (megah) atau
“pangagung” (menak; bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa kesenian ini
digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan. E. Sutisna, salah
seorang nayaga Degung Parahyangan, menghubungkan kata “degung” dikarenakan
gamelan ini dulu hanya dimiliki oleh para pangagung (bupati).
Dalam literatur istilah “degung” pertama kali muncul tahun 1879, yaitu
dalam kamus susunan H.J. Oosting. Kata "De gong" (gamelan, bahasa
Belanda) dalam kamus ini mengandung pengertian “penclon-penclon
yangdigantung”.Gamelan yang usianya cukup tua selain yang ada di keraton
Kasepuhan (gamelan Dengung) adalah gamelan degung Pangasih di Museum Prabu
Geusan Ulun, Sumedang. Gamelan ini merupakan peninggalan Pangeran
Kusumadinata (Pangeran Kornel), bupati Sumedang (1791—1828).
Perkembangan
Dulu gamelan degung hanya ditabuh secara gendingan (instrumental). Bupati Cianjur RT. Wiranatakusumah V (1912—1920) melarang degung memakai nyanyian (vokal) karena membuat suasana kurang serius (rucah). Ketika bupati ini tahun 1920 pindah menjadi bupati Bandung, maka perangkat gamelan degung di pendopo Cianjur juga turut dibawa bersama nayaganya, dipimpin oleh Idi. Sejak itu gamelan degung yang bernama Pamagersari ini menghiasi pendopo Bandung dengan lagu-lagunya. Melihat dan mendengarkan keindahan degung, salah seorang saudagar Pasar Baru Bandung keturunan Palembang, Anang Thayib, merasa tertarik untuk menggunakannya dalam acara hajatan yang diselenggarakannya. Kebetulan dia sahabat bupati tersebut. Oleh karena itu dia mengajukan permohonan kepada bupati agar diijinkan menggunakan degung dalam hajatannya, dan diijinkannya. Mulai saat itulah degung digunakan dalam hajatan (perhelatan) umum.
Dulu gamelan degung hanya ditabuh secara gendingan (instrumental). Bupati Cianjur RT. Wiranatakusumah V (1912—1920) melarang degung memakai nyanyian (vokal) karena membuat suasana kurang serius (rucah). Ketika bupati ini tahun 1920 pindah menjadi bupati Bandung, maka perangkat gamelan degung di pendopo Cianjur juga turut dibawa bersama nayaganya, dipimpin oleh Idi. Sejak itu gamelan degung yang bernama Pamagersari ini menghiasi pendopo Bandung dengan lagu-lagunya. Melihat dan mendengarkan keindahan degung, salah seorang saudagar Pasar Baru Bandung keturunan Palembang, Anang Thayib, merasa tertarik untuk menggunakannya dalam acara hajatan yang diselenggarakannya. Kebetulan dia sahabat bupati tersebut. Oleh karena itu dia mengajukan permohonan kepada bupati agar diijinkan menggunakan degung dalam hajatannya, dan diijinkannya. Mulai saat itulah degung digunakan dalam hajatan (perhelatan) umum.
Permohonan
semacam itu semakin banyak, maka bupati memerintahkan supaya membuat gamelan
degung lagi, dan terwujud degung baru yang dinamakan Purbasasaka, dipimpin
oleh Oyo. Sebelumnya waditra (instrumen) gamelan degung hanya terdiri atas
koromong (bonang) 13 penclon, cempres (saron panjang) 11 wilah,
degung (jenglong) 6 penclon, dan goong satu buah. Kemudian
penambahan-penambahan waditra terjadi sesuai dengan tantangan dan
kebutuhan musikal, misalnya penambahan kendang dan suling oleh bapak Idi.
Gamelan degung kabupaten Bandung, bersama kesenian lain digunakan sebagai
musik gending karesmen (opera Sunda) kolosalLoetoeng Kasaroeng tanggal 18 Juni
1921 dalam menyambut Cultuurcongres Java Institut. Sebelumnya, tahun 1918
Rd. Soerawidjaja pernah pula membuat gending karesmen dengan musik degung, yang
dipentaskan di Medan. Tahun 1926 degung dipakai untuk illustrasi film
cerita pertama di Indonesia berjudul Loetoeng Kasaroeng oleh L. Heuveldrop
dan G. Kruger produksi Java Film Company, Bandung. Karya lainnya yang
menggunakan degung sebagai musiknya adalah gending karesmen Mundinglaya
dikusumah oleh M. Idris Sastraprawira dan Rd. Djajaatmadja di Purwakarta
tahun 1931.
Setelah
Idi meninggal (tahun 1945) degung tersendat perkembangannya. Apalagi setelah
itu revolusi fisik banyak mengakibatkan penderitaan masyarakat. Degung
dibangkitkan kembali secara serius tahun 1954 oleh Moh. Tarya, Ono
Sukarna, dan E. Tjarmedi. Selain menyajikan lagu-lagu yang telah ada, mereka
menciptakan pula lagu-lagu baru dengan nuansa lagu-lagu degung sebelumnya.
Tahun 1956 degung mulai disiarkan secara tetap di RRI Bandung dengan
mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat.
Tahun
1956 Enoch Atmadibrata membuat tari Cendrawasih dengan musik degung dengan
iringan degung lagu palwa. Bunyi degung lagu Palwa setiap kali terdengar
tatkala pembukaan acara warta berita bahasa Sunda, sehingga dapat meresap
dan membawa suasana khas Sunda dalam hati masyarakat. Pengembangan lagu
degung dengan vokal dilanjutkan oleh grup Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi
sekitar tahun 1958. Selanjutnya E. Tjarmedi dan juga Rahmat Sukmasaputra
mencoba menggarap degung dengan lagu-lagu alit (sawiletan) dari patokan
lagu gamelan salendro pelog. Rahmat Sukmasaputra juga merupakan seorang tokoh
yang memelopori degung dengan nayaga wanita. Selain itu, seperti dikemukakan
Enoch Atmadibrata, degung wanita dipelopori oleh para anggota Damas (Daya
Mahasiswa Sunda) sekitar tahun 1957 di bawah asuhan Sukanda Artadinata
(menantu Oyo).
Tahun
1962 ada yang mencoba memasukkan waditra angklung ke dalam degung. Tetapi hal
ini tidak berkembang. Tahun 1961 RS. Darya Mandalakusuma (kepala siaran
Sunda RRI Bandung) melengkapi degung dengan waditra gambang, saron, dan
rebab.Kelengkapan ini untuk mendukung gending karesmen Mundinglayadikusumah
karya Wahyu Wibisana. Gamelan degung ini dinamakan degung Si Pawit. Degung
ini juga digunakan untuk pirigan wayang Pakuan. Dari rekaman-rekaman
produksi Lokananta (Surakarta) oleh grup RRI Bandung dan Parahyangan pimpinan
E. Tjarmedi dapat didengarkan degung yang menggunakan waditra tambahan
ini. Lagu-lagu serta garap tabuhnya banyak mengambil dari gamelan salendro
pelog, misalnya lagu Paksi Tuwung, Kembang Kapas, dsb. Pada tahun
1964, Mang Koko membuat gamelan laras degung yang nadanya berorientasi
pada gamelan salendro (dwi swara).
Bentuk ancak bonanya seperti tapal kuda. Dibanding degung yang ada pada waktu itu, surupannya lebih tinggi. Keberadaan degung ini sebagai realisasi teori R. Machyar. Gamelan laras degung ini pernah dipakai untuk mengiringi gending karesmen Aki Nini Balangantrang (1967) karya Mang Koko dan Wahyu Wibisana. Tahun 1970—1980-an semakin banyak yang menggarap degung, misalnya Nano S. dengan grup Gentra Madya (1976), lingkung seni Dewi Pramanik pimpinan Euis Komariah, degung Gapura pimpinan Kustyara, dan degung gaya Ujang Suryana (Pakutandang, Ciparay) yang sangat populer sejak tahun 1980-an dengan ciri permainansulingnya yang khas. Tak kalah penting adalah Nano S. dengan grup Gentra Madya-nya yang memasukan unsur waditra kacapi dalam degungnya. Nano S. membuat lagu degung dengan kebiasaan membuat intro dan aransemen tersendiri. Beberapa lagu degung karya Nano S. yang direkam dalam kaset sukses di pasaran, di antaranya Panglayungan (1977), Puspita (1978), Naon Lepatna (1980), Tamperan Kaheman (1981), Anjeun (1984) dan Kalangkang yang dinyanyikan oleh Nining Meida dan Barman Syahyana (1986).
Bentuk ancak bonanya seperti tapal kuda. Dibanding degung yang ada pada waktu itu, surupannya lebih tinggi. Keberadaan degung ini sebagai realisasi teori R. Machyar. Gamelan laras degung ini pernah dipakai untuk mengiringi gending karesmen Aki Nini Balangantrang (1967) karya Mang Koko dan Wahyu Wibisana. Tahun 1970—1980-an semakin banyak yang menggarap degung, misalnya Nano S. dengan grup Gentra Madya (1976), lingkung seni Dewi Pramanik pimpinan Euis Komariah, degung Gapura pimpinan Kustyara, dan degung gaya Ujang Suryana (Pakutandang, Ciparay) yang sangat populer sejak tahun 1980-an dengan ciri permainansulingnya yang khas. Tak kalah penting adalah Nano S. dengan grup Gentra Madya-nya yang memasukan unsur waditra kacapi dalam degungnya. Nano S. membuat lagu degung dengan kebiasaan membuat intro dan aransemen tersendiri. Beberapa lagu degung karya Nano S. yang direkam dalam kaset sukses di pasaran, di antaranya Panglayungan (1977), Puspita (1978), Naon Lepatna (1980), Tamperan Kaheman (1981), Anjeun (1984) dan Kalangkang yang dinyanyikan oleh Nining Meida dan Barman Syahyana (1986).
Lagu
Kalangkang ini lebih populer lagi setelah direkam dalam gaya pop Sunda oleh
penyanyi Nining Meida dan Adang Cengos sekitar tahun 1987. Berbeda
dengan masa awal (tahun 1950-an) dimana para penyanyi degung berasal dari
kalangan penyanyi gamelan salendro pelog (pasinden; ronggeng), para
penyanyi degung sekarang (sejak 1970-an) kebanyakan berasal dari kalangan
mamaos (tembang Sunda Cianjuran), baik pria maupun wanita. Juru kawih degung
yang populer dan berasal dari kalangan mamaos di antaranya Euis Komariah,
Ida Widawati, Teti Afienti, Mamah Dasimah, Barman Syahyana, Didin S.
Badjuri, Yus Wiradiredja, Tati Saleh dan sebagainya.
Lagu-lagu
degung di antaranya: Palwa, Palsiun, Bima Mobos (Sancang), Sang Bango, Kinteul
Bueuk, Pajajaran, Catrik, Lalayaran, Jipang Lontang, Sangkuratu, Karang
Ulun, Karangmantri, Ladrak, Ujung Laut, Manintin, Beber Layar, Kadewan,
Padayungan, dsb.
Sedangkan
lagu-lagu degung ciptaan baru yang digarap dengan menggunakan pola lagu
rerenggongan di antaranya: Samar-samar, Kembang Ligar, Surat Ondangan,
Hariring Bandung, Tepang Asih, Kalangkang, Rumaos, Bentang Kuring, dsb.
Perkembangan di luar negeri
Di
luar Indonesia pengembangan degung dilakukan oleh perguruan tinggi seni dan
beberapa musisi, misalnya Lingkung Seni Pusaka Sunda University of
California (Santa Cruz, USA), musisi Lou Harrison (US), dan
Rachel Swindell bersama mahasiswa lainnya di London (Inggris), Paraguna
(Jepang), serta Evergreen, John Sidal (Kanada). Di Melbourne, Australia,
ada sebuah set gamelan degung milik University of Melbourne yang
seringkali digunakan oleh sebuah komunitas pencinta musik Sunda untuk
latihan dan pementasan di festival-festival.
Informasi Lain :
Informasi Lain :
Indonesia
sesungguhnya tidak saja memiliki kekayaan alam yang begitu besar dan cantik,
tetapi juga kaya akan kesenian daerahnya.Tentu sulit menemukan keragaman dan
kekayaan kesenian seperti yang dapat diketemukan di berbagai propinsi di
Indonesia.
Salah
satu kesenian yang kaya yang ada di Indonesia adalah musik daerah yang harus
disadari sebagai kekayaan bangsa. Musik daerah yang cukup terkenal adalah
gamelan. Gamelan sebenarnya adalah ensembel musik yang menonjolkan berbagai
alat musik tradisional yaitu metalofon, gambang, gendang, dan gong. Gamelan
sebenarnya merupakan sekelompok alat musik yang membunyikannya dengan cara
kebanyakan dipukul. Kita bisa menjumpai orkes gamelan ini di beberapa pulau
yang sering menampilkan berbagai pertunjukan dengan menggunakan gamelan. Kita
pasti sering mendengar gamelan Jawa, Bali, bahkan gamelan juga dimiliki Madura
dan Lombok. Gamelannya juga ada dalam berbagai jenis ukuran dan bentuknya.
Penalaan
dan pembuatan orkes gamelan adalah suatu proses yang kompleks. Gamelan
menggunakan empat cara penalaan, yaitu sléndro, pélog, "Degung"
(khusus daerah Sunda, atau Jawa Barat), dan "madenda" (juga dikenal
sebagai diatonis, sama seperti skala minor asli yang banyak dipakai di Eropa).
Seni Degung
Bagi
orang Sunda seni Degung cukup digemari. Degung adalah suatu seni karawitan
Sunda yang menggunakan perangkat gamelan berlaras degung (lebih umum berlaras
pelog) dan biasanya terdiri atas saron, panerus, bonang, jengglong, gong,
kendang, goong, serta suling. Ketika pertama-tama muncul degung ini memiliki
lagu-lagu seperti Lambang, Pajajaran Beber Layar, Bima Mobos, Kodehel, Jipang
Prawa, Jipang Karaton, Mayaselas, dan lain lain. Namun semakin berkembang maka
semakin banyak sentuhan kreasi para seniman atasnya, sehingga muncullah kreasi
komposisi lagu seperti catrik, sinyur, banjaran, lalayaran, dan sebagainya.
Dari komposisi tersebut, maka muncullah lagu-lagu degung wanda anyar seperti
lagu Kalangkang (catrik), Nimang (Sinyur), Asa Tos Tepang (Catrik), Anjeun
(mandiri). Bahkan gamelan degung sekarang kerap dibubuhi kacapi siter dan bisa
mengiring lagu-lagu berlaras sorong seperti Potret Manehna, Dua Saati, Kapaut
Imut, Kacipta Kapiati, Bantang Kuring, dan lain-lain
Arti
Degung sebenarnya hampir sama dengan Gangsa di Jawa Tengah, Gong di Bali atau
Goong di Banten yang juga dinamakan Gamelan.
Pada
awalnya, Degung adalah nama dari waditra berbentuk 6 buah gong kecil, dan
biasanya digantungkan pada “kakanco” atau rancak/ancak. Waditra ini biasa
disebut “bende renteng” atau “jenglong gayor”. Perkembangan menunjukan bahwa
akhirnya nama ini digunakan untuk menyebut seperangkat alat yang disebut
Gamelan Degung dimana pada awalnya gamelan ini berlaras Degung namun kemudian
ditambah pula dengan nada sisipan sehingga menjadi laras yang lain (bisa Laras
Madenda/Nyorog ataupun laras
Mandalungan/Kobongan/Mataraman)
Berdasarkan
sejarah, Degung adalah salah satu gamelan khas dan asli hasil kreativitas
masyarakat Sunda, yang diawalai sekitar abad 18/awal abad 19. Jaap Kunst yang
mendata gamelan di seluruh Pulau Jawa dalam bukunya Toonkunst van Java (1934)
mencatat bahwa degung terdapat di Bandung (5 perangkat), Sumedang (3
perangkat), Cianjur (1 perangkat), Ciamis (1 perangkat), Kasepuhan (1
perangkat), Kanoman (1 perangkat), Darmaraja (1 perangkat), Banjar (1
perangkat), dan Singaparna (1 perangkat).
Masyarakat
Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di hulu sungai, kerajaan
Galuh misalnya, memiliki pengaruh tersendiri terhadap kesenian degung, terutama
lagu-lagunya yang yang banyak diwarnai kondisi sungai, di antaranya lagu
Manintin, Galatik Manggut, Kintel Buluk, dan Sang Bango. Kebiasaan marak lauk
masyarakat Sunda selalu diringi dengan gamelan renteng dan berkembang ke
gamelan degung.
Degung
juga dipercaya sebagai musik kerajaan atau kadaleman. Bahkan dikaitkan dengan
kirata basa, yaitu bahwa kata “degung” berasal dari kata "ngadeg"
(berdiri) dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak; bangsawan), yang artinya
adalah kesenian ini digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan. E.
Sutisna, salah seorang nayaga Degung Parahyangan, mengaitkan kata “degung”
dikarenakan gamelan ini dulu hanya dimiliki oleh para pangagung (bupati).
Sedangkan istilah “degung” pertama kali muncul tahun 1879, yaitu dalam kamus
susunan H.J. Oosting. Kata "De gong" (gamelan, bahasa Belanda) dalam
kamus ini mengandung pengertian “penclon-penclon yang digantung”.
Gamelan
yang usianya cukup tua selain yang ada di keraton Kasepuhan (gamelan Dengung)
adalah gamelan degung Pangasih di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang. Gamelan
ini merupakan peninggalan Pangeran Kusumadinata (Pangeran Kornel), bupati
Sumedang (1791—1828).
Di samping itu, pendapat lain mengatakan bahwa kata Degung berasal dari kata ratu-agung atau tumenggung, karena Gamelan Degung sangat digemari oleh para pejabat pada waktu itu. Bahkan seorang bupati dari Bandung, R.A.A. Wiranatakusuma adalah salah seorang pejabat yang sangat menggemari Degung, bahkan sempat mendokumentasikan beberapa lagu Degung kedalam bentuk rekaman suara.
Di samping itu, pendapat lain mengatakan bahwa kata Degung berasal dari kata ratu-agung atau tumenggung, karena Gamelan Degung sangat digemari oleh para pejabat pada waktu itu. Bahkan seorang bupati dari Bandung, R.A.A. Wiranatakusuma adalah salah seorang pejabat yang sangat menggemari Degung, bahkan sempat mendokumentasikan beberapa lagu Degung kedalam bentuk rekaman suara.
Ada
pula yang menyebutkan Degung berasal dari kata “Deg ngadeg ka nu Agung” yang
artinya kita harus senantiasa menghadap (beribadah) kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam bahasa Sunda banyak terdapat kata-kata yang berakhiran gung yang artinya
menunjukan tempat/kedudukan yang tinggi dan terhormat misalnya : Panggung,
Agung, Tumenggung, dsbnya. Itu sebabnya Degung memberi gambaran kepada orang
Sunda sebagai sesuatu yang agung dan terhormat yang digemari oleh Pangagung.
Mula
mula Degung merupakan karawitan gending, tetapi terus berkembang dari jaman ke
jaman. Pada tahun 1958 dalam bentuk pergelarannya barulah degung menjadi bentuk
sekar gending, dimana lagu-lagu Ageung diberi rumpaka, melodi lagu dan bonang
kadangkala sejajar kecuali untuk nada-nada yang tinggi dan rendah apabila tidak
tercapai oleh Sekar. Banyaknya kreasi-kreasi dalam sekar, tari, wayang
menjadikan degung seperti sekarang ini.
Degung Klasik Sunda
1. Asal Mula Degung
Jaap Kunst dalam
bukunya Toonkunst van Java (Kunst, 1934), mencatat bahwa awal
perkembangan Degung adalah sekitar akhir abad ke-18/awal abad ke-19. Dalam studi
literaturnya, disebutkan bahwa kata “degung” pertama kali muncul
tahun 1879, yaitu dalam kamus susunan H.J. Oosting. Kata “de
gong” (gamelan: Belanda) dalam kamus ini terkandung
pengertian: penclon-penclon yang digantung[1].
Menurut Entjar Tjarmedi dalam bukunya Pangajaran
Degung, waditra (instrumen: Sunda) ini berbentuk 6 buah gong kecil
yang biasanya digantung pada sebuah gantungan yang disebut dengan rancak.
Menurut beliau istilah “gamelan Degung” diambil dari nama waditra tersebut,
yang kini lebih dikenal dengan istilah jenglong (Tjarmedi, 1974: 7).
Adapun mengenai waktu
kemunculannya belum ada literatur yang akurat selain kamus H.J. Oosting di
atas. Namun sebagaimana Jaap Kunst, Enip Sukanda pun berpendapat dalam karya
penelitiannya tentang Dedegungan pada Tembang Sunda Cianjuran,
bahwa ketika kamus itu dicetak berarti gamelan Degung-nya sudah ada terlebih
dahulu, katakanlah sekitar 100 tahun sebelumnya (Sukanda, 1984:15).
Ada pendapat lain yaitu
dari Atik Soepandi, dalam tulisannya mengenaiPerkembangan Seni Degung Di Jawa
Barat, bahwa gamelan Degung adalah istilah lain dari Goong Renteng,
mengingat banyak persamaan antara lagu-lagu Degung Klasik dengan lagu-lagu
goong renteng (Soepandi, 1974). Perbedaannya adalah apabila Goong Renteng
kebanyakan ditemukan di kalangan masyarakat petani (rakyat), maka gamelan
Degung ditemukan di lingkungan bangsawan (menak).
2. Istilah “Degung”
Istilah “degung” memiliki
dua pengertian: pertama, adalah nama seperangkat gamelan yang digunakan oleh
masyarakat Sunda, yakni gamelan-degung. Gamelan ini memiliki karakteristik
yang berbeda dengan gamelan pelog-salendro, baik dari jenis instrumennya,
lagu-lagunya, teknik memainkannya, maupun konteks sosialnya; kedua, adalah
nama laras (tangga nada) yang merupakan bagian dari laras salendro
berdasarkan teori R. Machjar Angga Koesoemahdinata. Dalam teori tersebut, laras
degung terdiri dari degung dwiswara (tumbuk nada mi (2) dan la (5))
dan degung triswara (tumbuk nada da (1), na (3),
dan ti (4))[2].
Karena perbedaan inilah maka Degung dimaklumi sebagai musik yang khas dan
merupakan identitas masyarakat Sunda.
Dihubungkan
dengan kirata basa[3],
kata “degung” berasal dari kata “ngadeg” (berdiri) dan “agung” (megah) atau
“pangagung” (menak; bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa fungsi
kesenian ini dahulunya digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan.
E.Sutisna, salah seorang nayaga(penabuh) grup Degung “Parahyangan”,
mengatakan bahwa gamelan Degung dulunya hanya dimiliki oleh
para pangagung (bupati). Dalam buku Sejarah Seni Budaya Jawa
Barat Jidlid II yang disusun oleh Tim Penulisan Naskah Pengembangan Media
Kebudayaan Jawa Barat, disebutkan bahwa:
“Pada mulanya
pemanggungan gamelan Degung terbatas di lingkungan pendopo-pendopo kabupaten
untuk mengiringi upacara-upacara yang bersifat resmi. Menurut riwayat, gamelan
Degung yang masuk ke kabupaten Bandung berasal dari kabupaten Cianjur. Raden
Aria Adipati Wiranatakusumah V yang kemudian dikenal dengan julukan Dalem Haji
sebelum menjadi bupati Bandung pernah berkedudukan sebagai bupati Cianjur. Pada
waktu itu di kabupaten Cianjur telah berkembang seni Degung. Pada tahun 1920
R.A.A. Wiranatakusumah V mulai diangkat menjadi bupati Bandung, ketika itu
beberapa orang pemain seni Degung Cianjur ada yang ikut serta ke Bandung.”
(1977: 69)
Dari keterangan tersebut
bisa disimpulkan bahwa pada awalnya gamelan ini merupakan musik keraton
atau kadaleman, di mana nilai-nilai etika sosial
dan estetikadijunjung tinggi. Pada saat itu Degung merupakan
musik gendingan (instrumental) untuk mengiringi momen-momen yang
sakral. Namun kepindahannya secara politis dari kabupaten Cianjur ke kabupaten
Bandung, menyebabkan perubahan-perubahan penting yang akan diterangkan pada
bagian setelah ini.
3. Struktur
Waditra/Instrumen
Pada awal pemerintahan
Dalem Haji[4] sebagai
bupati Bandung, ensambel gamelan Degung hanya terdiri dari alat-alat
instrumen: bonang, cecempres (saron/panerus), jengglong
(degung), dan goong. Namun atas usul Abah Iyam dan putra-putranya,
yaitu Abah Idi, Abah Oyo, dan Abah Atma, para seniman karawitan Bandung yang
sudah membentuk grup “Pamagersari” (Abah Idi, 1918) dan “Purbasasaka” (Abah
Oyo, 1919), perangkatnya ditambah dengan: peking, kendang,dan suling.
Usul ini disampaikan setelah diadakan Cuultuurcongres Java
Instituut pada tanggal 18 Juni 1921 yang di dalamnya menampilkan Goong
Renteng dari desa Lebakwangi, kecamatan Banjaran, kabupaten Bandung[5].
Pada tahun 1961 oleh R.A.
Darya atau R.A. Mandalakusuma (kepala RRI Bandung), ketika menggunakan gamelan
Degung untuk mendukung gending karesmen[6] berjudul
“Mundinglayadikusumah” garapan Wahyu Wibisana, waditra Degung ditambah lagi dengan gambang dan rebab.
Lalu pada tahun 1962, ada yang mencoba memasukkan waditra angklung ke
dalam ensambel Degung. Nano S. dalam karya-karya Degung Baru bahkan
memasukkan waditra kacapi. Namun penambahan beberapa waditra ini tidak
bertahan lama, hanya bersifat situasional dan kondisionalpada
garapan tertentu, kecuali waditra peking, kendang, dan suling yang masih
bertahan sampai sekarang.
Dilihat dari bentuknya,
waditra bonang, jenglong, dan goong berbentuk penclon, yang secara
organologis termasuk ke dalam klasifikasi idiofon (alat pukul) dengan
sub klasifikasi gong chime. Sedangkan waditra cecempres dan peking
berbentuk wilahan(bilah), yang secara organologis termasuk ke dalam
klasifikasi idiofon dengan sub klasifikasi metalofon. Sementara
waditra suling termasuk aerofon, dan kendang termasuk membranofon. Klasifikasi
ini berdasarkan terjemahan Rizaldi Siagian dari teori Sachs/Hornbostel (1914:6)[7].
Banyaknya penclon pada
waditra bonang biasanya antara 14 sampai dengan 16 buah, dimulai dengan nada 1
(da) tertinggi sampai nada 1 (da) terendah sebanyak 3gembyang (oktaf).
Penclon-penclon ini disusun di atas rancak (penyangga), dengan
menempatkan penclon terkecil (nada tertinggi) di ujung sebelah kanan pemain,
berurutan hingga penclon terbesar (nada terendah) di ujung sebelah kiri pemain.
Hal ini disesuaikan dengan urutan nada pada laras (tangga nada)
Degung[8].
Bonang bertugas sebagai pembawa melodi pokok yang merupakan induk
dari semua waditra lainnya. Pangkat (intro) lagu Degung dimulai dari
waditra ini.
Penclon pada waditra
jenglong berjumlah 6 buah yang terdiri dari nada 5 (la) hingga 5 (la) di
bawahnya (1 gembyang), dengan ambitus (wilayah nada) yang lebih
rendah dari bonang. Penclon-penclon ini digantung dengan tali pada rancak yang
berbentuk tiang gantungan (lihat gambar 4 di belakang-kanan). Jenglong bertugas
sebagai balunganing gending (bass; penyangga lagu) yakni sebagai penegas
melodi bonang.
Gong yang terdiri dari 2
buah penclon, yakni kempul (gong kecil) dan goong (gong
besar) digantung dengan tali secara berhadapan pada rancak (lihat gambar 8 di
belakang-kiri). Kempul berada di sebelah kiri pemain, sementara goong di sebelah
kanan pemain. Ambitus nada gong sangat rendah, bertugas sebagai
pengatur wiletan(birama) atau sebagai tanda akhir periode melodi dan
penutup kalimat lagu. Goong disebut juga sebagai pamuas lagu.
Jumlah wilahan pada
cecempres adalah 14 buah, disusun di atas rancak yang dimulai dari nada 2 (mi)
tertinggi di ujung sebelah kanan pemain hingga nada 5 (la) terendah di ujung
sebelah kiri pemain. Cecempres bertugas sebagai rithm (patokan nada)
yang menegaskan melodi bonang, yang dipukul dengan pola yang konstan.
Adapun jumlah wilahan
pada peking adalah sama dengan cecempres, namun nada-nada peking
memiliki ambitus (wilayah nada) yang lebih tinggi dari cecempres
(biasanya antara sakempyung: kira-kira 1 kwint hingga sagembyang:
kira-kira 1 oktav). Tugas peking agak berbeda dari cecempres, yakni sebagai
pengiring melodi. Apabila jenglong dan cecempres
dipukul tandak (konstan menurut ketukan), maka peking terkesan lebih
ber-improvisasi. Peking sering juga disebut sebagai pameulit/pamanislagu.
Sebagaimana penulis jelaskan sebelumnya, peking merupakan waditra tambahan.
Seperti halnya peking,
waditra kendang dan suling juga merupakan tambahan. Pada awalnya kendang tidak
dimainkan seperti pada lagu-lagu berlaras pelog/salendro, tetapi hanya sebagai
penjaga ketukan saja seperti pada orkestra Barat. Namun permainan kendang pada
lagu-lagu Degung sekarang lebih variatif, sehingga menurut penulis hal ini
menyebabkan penonjolan melodi bonang jadi ‘tersaingi’. Begitupun dalam
permainan suling. Walaupun dengan timbre (warna suara) yang berbeda,
namun kedudukannya sama seperti vokal sehingga pendengar jadi kurang menikmati
melodi bonang. Namun pada lagu-lagu Degung Baru kehadiran peking, kendang, dan
suling ini menjadi hal biasa, apalagi bagi apresiator yang belum pernah
mendengar lagu-lagu Degung.
Bahan dasar pembuatan
bonang, cecempres, peking, jenglong, dan goong yang paling baik kualitas
suaranya adalah dari logam perunggu (campuran timah dan tembaga
dengan perbandingan 1 : 3). Ada yang menggunakan bahan dasar logam kuningan dan
besi. Namun kedua logam tersebut kualitas suaranya lebih rendah daripada logam
perunggu[9].
Kualitas logam ini pun berpengaruh kepada daya tahan terhadap cuaca.
4. Laras/Tangga Nada
Laras (berasal dari
bahasa Jawa) mengandung pengertian yang sama dengantangga nada pada musik
Barat, yakni: deretan nada-nada, baik turun maupun naik, yang disusun
dalam satu gembyang (oktav) dengan swarantara (interval) tertentu. Satu gembyang
adalah jarak antara satu nada ke nada yang sama di atasnya (misalnya dari 1 ke
1’ tinggi). Seperti kita ketahui bahwa pada teori musik Barat, satu gembyang
berjarak 1200 sen.
Sementara swarantara
adalah jarak antara nada satu ke nada berikutnya (misalnya 1 ke 2, 2 ke 3, dan
seterusnya). Perbedaan laras Sunda dengan tangga nada musik Barat adalah,
apabila pada tangga nada musik Barat penomoran nada diatur naikdari nada
rendah ke nada tinggi (berjumlah 7 nada pokok), maka pada laras Sunda penomoran
diatur menurun dari nada tinggi ke nada rendah (berjumlah 5 nada
pokok).
Dalam karawitan Sunda
dikenal empat laras pokok, yaitu: laras pelog, laras
salendro (yang keduanya dikenal juga di Jawa dan Bali), laras
madenda/sorog, danlaras Degung (yang kedua terakhir ini hanya dikenal di
daerah Sunda). Keempat laras ini masing-masing memiliki perbedaan pada
swarantaranya. Raden Machjar Angga Koemoemadinata dalam buku Ilmu Seni
Raras (1969) telah membagi perbedaan swarantara pada laras-laras tersebut,
namun uraian mengenai hal itu akan memerlukan pembahasan yang terlalu panjang.
Dalam tulisan ini, yang diperlukan adalah perbedaan swarantara pada laras
Degung.
Laras Degung:
Seperti pada laras Pelog,
swarantara pada laras Degung dari nada yang satu ke nada berikutnya juga
berbeda-beda. Namun laras Degung menurut Rd. Machjar merupakan keturunan dari
laras Salendro, sehingga 1 gembyangnya dibagi menjadi 15 garis jarak, jadi
masing-masing jaraknya adalah 1200/15 = 80 sen. Untuk lebih jelasnya perhatikan
grafik berikut ini:
1
(da)
|
||||||
2
(mi)
|
||||||
3
(na)
|
||||||
1
gembyang
|
||||||
=
1200 sen
|
||||||
4
(ti)
|
||||||
5
(la)
|
||||||
1
(da)
|
Keterangan:
Swarantara antar
nada-nada pada laras Degung adalah sebagai berikut:
- Swarantara nada 1
(da) ke 2 (mi) adalah 80 sen.
- Swarantara nada 2
(mi) ke 3 (na) adalah 400 sen.
- Swarantara nada 3
(na) ke 4 (ti) adalah 240 sen.
- Swarantara nada 4
(ti) ke 5 (la) adalah 80 sen.
- Swarantara nada 5
(la) ke 1 (da) adalah 400 sen.
Namun beberapa tahun
terakhir ini banyak peneliti yang mengkritisi teori Rd. Machjar, di antaranya
adalah tulisan Heri Herdini pada Jurnal Seni STSI Bandung,Panggung, edisi XXXII
yang berjudul “Peninjauan Ulang Terhadap Teori Laras dan Surupan Karya Raden Machjar
Angga Koesoemadinata”. Tulisan itu merupakan hasil penelitian terhadap 52 alat
musik yang terdiri dari 30 instrumen gamelan, 10 instrumen tarawangsa (rebab
dan kacapi), 7 instrumen kacapi indung, dan 5 instrumen rebab. Penelitian ini
dipimpin oleh Deni Hermawan dengan bantuan sponsor dari The Toyota
Foundation.
Setelah dilakukan
pengukuran frekuensi nada-nada pada gamelan, kacapi, dan rebab tersebut dengan
menggunakan alat ukur frekuensi bernama Dual Channel Real-Time Frequency
Analyzer tipe 2144, diperoleh data-data sebagai berikut:
Data interval laras
Degung, Madenda, dan Salendro
NO.
|
NAMA LARAS
|
SUSUNAN INTERVAL NADA
|
|||||||||||||||||
1
|
Laras
Degung
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1
|
||||||||||||
99,65
398,64 199,31 99,65 398,64
|
|||||||||||||||||||
2
|
Laras
Madenda
|
3
|
4
|
5
|
1
|
2
|
3
|
||||||||||||
99,72
199,31 398,66 99,65 398,65
|
|||||||||||||||||||
3
|
Laras
Salendro
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1
|
||||||||||||
249,11
249,14 199,31 249,13 249,14
|
|||||||||||||||||||
Tabel 2.2.
Interval dari ketiga
laras tersebut apabila dibulatkan menjadi:
NO.
|
NAMA LARAS
|
SUSUNAN INTERVAL NADA
|
|||||||||||||||||
1
|
Laras
Degung
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1
|
||||||||||||
100
400 200 100 400
|
|||||||||||||||||||
2
|
Laras
Madenda
|
3
|
4
|
5
|
1
|
2
|
3
|
||||||||||||
100
200 400 100 400
|
|||||||||||||||||||
3
|
Laras
Salendro
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1
|
||||||||||||
250
250 200 250 250
|
|||||||||||||||||||
Dari data-data hasil
penelitian tersebut, maka Herdini menarik kesimpulan sebagai berikut:
“Berdasarkan hasil penelitian
ini, dapat diperoleh kesimpulan sementara bahwa laras salendro yang sebenarnya
adalah ‘bedantara’ dengan susunan interval 250 – 250 – 200 – 250 – 250. Dengan
demikian, laras salendro padantara sebagaimana yang dinyatakan dalam teori
laras Raden Machjar Angga Koesoemadinata sesungguhnya tidak ada. Kesimpulan
kedua, pendapat Raden Machjar Angga Koesoemadinata tentang laras Degung dan
madenda sebagai turunan dari laras salendro sesungguhnya perlu dipertanyakan
dan dikaji ulang kembali, oleh karena interval 250 sen pada laras salendro bila
dibagi oleh interval 100 sen pada laras Degung dan madenda tidak menghasilkan
jumlah yang bulat. Dengan demikian, dilihat dari proses pembentukannya, laras
Degung dan madenda merupakan laras yang mandiri bukan merupakan keturunan dari
laras salendro.” (Herdini, 2004:65-66)
Pada kenyataannya sistem
pelarasan dalam karawitan (musik) Sunda memang tidak ada yang persis
sama. Kenyataan ini akan semakin terasa apabila kita mencoba membandingkan
antara instrumen yang satu dengan lainnya, misalnya: antara laras goong
renteng Embah Bandong desa Lebakwangi-Batukarut di Bandung selatan,
berbeda dengan laras goong renteng Panggugah Manah desa Cigugur di
Kuningan; antara kacapi indung Cianjuran dengan Jentreng
Tarawangsa; antara gamelan Degung di Bandung dengan di Cirebon; dan sebagainya.
5. Pola Tabuhan
Karakteristik yang paling
menonjol – dan jarang ditemukan pada ensambel gamelan lain – dari musik Degung
adalah pola tabuhan bonangnya yang menggunakan teknikgumekan[10].
Pola tabuhan bonang inilah yang mewakili ekspresi melodi utamamusik
instrumental Degung seperti permainan piano pada musik klasik Barat[11]. Ketrampilan kedua tangan pemain
bonang memegang peranan yang penting sebagai ‘komando’ pada orkestra ini.
Pada gamelan
pelog/salendro pola tabuhan bonang dan rincik[12] menggunakan
teknik dikemprang[13] atau dicaruk[14]. Namun teknik dicaruk lebih
sering digunakan pada pola tabuhan saron I dan saron II. Jadi, perlu
digarisbawahi bahwa apabila kita menemukan pola tabuhan bonang yang dikemprang
ataupun peking dan saron yang dicaruk pada lagu Degung, sesungguhnya hal itu
adalah pengaruh dari jenis kesenian lain yang menggunakan gamelan
pelog/salendro, seperti: kiliningan, ketuk
tiluan, dan jaipongan.
Teknik gumekan bonang
inilah yang menjadi ciri khas lagu-lagu Degung sekaligus yang membedakannya
dengan teknik kemprangan atau carukan pada lagu-lagu kiliningan, ketuk tiluan,
dan jaipongan. Degung adalah orkestra yang berbentukinstrumental dengan
bonang sebagai ‘induk’nya, sementara kiliningan, ketuk tiluan, dan jaipongan
musik pengiring untuk sekar atau tarian.
6. Repertoar Degung
Repertoar gamelan Degung
dibagi menjadi dua jenis: pertama, repertoar Degung klasik yang masih
mempertahankan teknik gumekan bonang sebagai ekspresi melodi;kedua, repertoar
Degung non klasik – oleh Soepandi disebut dengan Degung Baru – yang
sudah dipengaruhi oleh pola tabuhan gamelan pelog/salendro (dikemprang atau
dicaruk).
Kalimat lagu pada Degung
klasik (intrumentalia) umumnya panjang-panjang, karena itu sering disebut juga
dengan ‘lagu ageung’. Sementara pola lagu-lagu Degung Baru
merupakan pirigan[15] untuk
mengiringi sekar, karena itu sering disebut juga dengan ‘lagu alit’. Namun
dalam perkembangannya, beberapa lagu ageung pun sekarang sudah ada yang
diisi rampak sekar (vokal grup).
Struktur garapan pada
repertoar Degung terdiri dari: pangkat, eusi, danmadakeun. Struktur
ini sama dengan istilah overture, interlude, dan coda pada
musik Barat. Pangkat adalah kalimat pembuka lagu yang dimainkan oleh waditra
bonang. Eusiadalah melodi pokok yang merupakan isi lagu itu
sendiri. Madakeun adalah kalimat penutup lagu. Kalimat pangkat
dan madakeun lebih pendek daripada eusi.
Melodi pangkat
dan madakeun kebanyakan berakhir pada nada 5 (la) dengan pukulan
goong (gong besar) yang juga biasanya bernada 5 (la) rendah. Di
dalam eusilagu-lagu pun akan banyak kita temui nada 5 (la) sebagai akhir
kalimat lagu (titik), sementara nada 2 (mi) biasanya dijadikan akhir melodi
pada pertengahan lagu (koma). Ini menunjukkan bahwa nada 2 (mi) dan nada 5 (la)
merupakan nada yang penting dan menjadi ciri khas lain pada repertoar Degung.
Beberapa contoh repertoar
Degung yang diciptakan oleh R.A.A. Koesoemahningrat V (Dalem Pancaniti:
1834-1868) dan R.A.A. Prawadiredja II (Dalem Bintang: 1868-1910)
pada Album Serial Degung produksi PT. Gema Nada Pertiwi tahun 2002
adalah: 1) Mangari, 2) Maya Selas, 3) Lalayaran, 4) Palsiun, 5) Genye, 6)
Paturay, 7) Ayun Ambing, Sang Bango, 9) Paksi Tuwung, 10) Lambang,
11) Manintin, 12) Jipang Prawa, 13) Palwa, 14) Kadewan, 15) Banteng Wulung, 16)
Beber Layar, 17) Kulawu, 18) Padayungan, 19) Ladrak, 20) Balenderan, 21)
Papalayon, 22) Mangu-Mangu Degung, 23) Jipang Lontang, 24) Gegot, 25)
Sulanjana, 26) Karang Mantri Kajineman, 27) Gunung Sari, 28) Banjaran, 29)
Kunang-Kunang, 30) Celementre, 31) Renggong Buyut, dan 32)
Senggot (Volume 1 s/d 7). Beberapa merupakan hasil recomposed (arransemen
ulang) oleh Abah Idi[16].
Abah Idi dalam
perjalanannya sebagai tokoh Degung awal abad XX, pernah membuat ciptaan asli
(bukan recomposed), yakni: 1) Sangkuratu, 2) Duda, 3) Galatik
Mangut, dan 4) Ujung Laut. Sementara Entjar Tjarmedi, sebagai salah
seorang tokoh yang pernah ‘menyelamatkan’ Degung pada awal tahun 1950-an dengan
siaran rutinnya di RRI Bandung, tercatat juga sebagai komposer repertoar Degung
dengan lagu-lagu: 1) Kahyangan, 2) Layungsari, 3) Pajajaran, 4) Kidang
Mas, 5) Lengser Midang, 6) Pulo Ganti, 7) Kajajaden, Lambang
Parahyangan, dan 9) Purbasaka. Nama-nama komposer lainnya yaitu: Abah
Atma yang menciptakan lagu 1) Maya Selasdan 2) Paron; Abah Absar
lagu 1) Karang Kamulyan dan 2) Hayam Sabrang; U. Tarya
lagu 1) Seler Degung; Hj. Siti Rokayah lagu 1) Sinangling Degung.
Adapun repertoar non
klasik/Degung Baru sangat banyak jumlahnya. Sangatlah tidak mungkin untuk
dituliskan semuanya dalam paper ini. Namun sebagai sekedar contoh yang paling
mewakili jenis tersebut adalah karya Nano S. dengan grup “Gentra Madya”nya
berupa album kaset Panglayungan (1977), Puspita (1978), Naon Lepatna
(1980), Tamperan Kaheman (1981), Anjeun (1984), dan Kalangkang
(1986) yang dinyanyikan oleh Nining Meida dan Barman Syahyana.
Dari judul-judul
repertoar musik Degung di atas (dalam bahasa Sunda), bisa kita lihat bahwa
musik Degung hampir seluruhnya menggambarkan suasana alam pegunungan, apalagi
setelah kita mendengarkan lagu-lagunya yang mengalun lembut. Namun sangat
disayangkan, bahwa musik Degung pada zaman sekarang sudah jarang diminati oleh
masyarakat Sunda sendiri, sehingga keasliannya terancam punah. Yang disebut
musik Degung sekarang hanyalah waditra gamelannya, sedangkan lagu-lagunya
kebanyakan sudah bukan lagu-lagu Degung klasik dalam bentuk musik intrumentalia
lagi. Para pangrawit Degung juga kebanyakan adalah para pangrawit gamelan
Pelog-Salendro.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Peran Generasi muda dalam Melestarikan Budaya Sunda Melalui Kesenian
Tradisional Khususnya Kesenian Degung
Generasi muda memiliki kedudukan dan
peranan penting dalam pelestarian seni dan budaya daerah. Hal ini didasari oleh
asumsi bahwa generasi muda merupakan anak bangsa yang menjadi penerus
kelangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia.
Sebagai intelektual muda yang kelak menjadi pemimpin-pemimpin bangsa, pada
mereka harus bersemayam suatu kesadaran kultural sehingga keberlanjutan negara
bangsa Indonesia dapat dipertahankan. Pembentukan kesadaran kultural generasi
muda antara lain dapat dilakukan dengan pengoptimalan peran mereka dalam
pelestarian seni dan budaya daerah.
Optimalisasi peran generasi muda dalam
pelestarian seni dan budaya daerah dapat dilakukan melalui dua jalur, yaitu
intrakurikuler dan ekstrakulikuler. Jalur Intrakurikuler dilakukan dengan
menjadikan seni dan budaya daerah sebagai substansi mata kuliah; sedangkan
jalur ekstrakurikuler dapat dilakukan melalui pemanfaatan unit kegiatan generasi
muda (UKM) kesenian dan keikutsertaan generasi muda dalam kegiatan-kegiatan
seni dan budaya yang diselenggarakan oleh berbagai pihak untuk pelestarian seni
dan budaya daerah.
1.
Jalur Intrakurikuler
Peningkatan pemahaman generasi muda terhadap
seni dan budaya daerah dapat dilakukan melalui jalur intrakurikuler; artinya
seni dan budaya daerah dijadikan sebagai salah satu substansi atau materi
pembelajaran dalam satu mata kuliah atau dijadikan sebagai mata kuliah.
Kemungkinan yang pertama dapat dilakukan melalui mata kuliah Ilmu Sosial
dan Budaya Dasar (ISBD) serta Ilmu Budaya Dasar dan Antropologi Budaya. Dalam
dua mata kuliah itu terdapat beberapa pokok bahasan yang dapat dimanfaatkan
untuk meningkatkan pemahaman generasi muda terhadap seni dan budaya daerah.
Kemungkinan yang kedua tampaknya telah diakomodasi dalam kurikulum program
studi - program studi yang termasuk dalam rumpun ilmu budaya seperti program
studi di lingkungan Fakultas Sastra atau Fakultas Ilmu Budaya.
Jalur intrakurikuler lainnya yang
dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman bahkan mengoptimalkan peran generasi
muda dalam pelestarian seni dan budaya daerah adalah Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Mahasiswa-generasi muda yang telah mendapatkan pemahaman yang mencukupi terhadap
seni dan budaya daerah dapat berkiprah langsung dalam pelestarian dan
pengembangan seni dan budaya daerah di mana mereka melakukan KKN.
2.
Jalur Ekstrakurikuler
Pembentukan dan pemanfaatan Unit
Kegiatan Generasi muda (UKM) contohnya Lisma merupakan langkah lain yang dapat
ditempuh untuk mengoptimalkan peran generasi muda dalam pelestarian seni dan
budaya daerah. Sehubungan dengan hal itu, pimpinan perguruan tinggi perlu
mendorong pembentukan UKM Kesenian Daerah. Lembaga kemahasiswaan itu merupakan wahana
yang sangat strategis untuk upaya-upaya tersebut, karena mereka adalah generasi
muda yang benar-benar berminat dan berbakat dalam bidang seni tradisi.
Latihan-latihan secara rutin sebagai salah satu bentuk kegiatan UKM kesenian
daerah yang pada gilirannya akan berujung pada pementasan atau pergelaran
merupakan bentuk nyata dari pelestarian seni dan budaya daerah.
Forum-forum festival seni generasi
muda semacam Pekan Seni Generasi muda Tingkat Nasional (Peksiminas) merupakan
wahana yang lain untuk pengoptimalan peran generasi muda dalam pelestarian seni
dan budaya daerah.
Permasalahan terhadap masyarakat
saat ini yang belum mengetahui, memahami, menguasai, dan mengkomunikasikan
budaya lokal perlu suatu cara untuk dapat mengarahkan itu semua. Disinilah
peran generasi muda di lingkungan tempat mereka tinggal untuk bersama-sama
mengarahkan itu semua melalui pelestarian kebudayaan, salah satunya dengan ikut
serta langsung dalam acara festival budaya di daerah masing-masing agar dapat
mengenal dan mencintai kebudayaan yang ada di Indonesia sejak dini.
Pemberdayaan generasi muda untuk
melestarikan kebudayaan sunda ini sangat dibutuhkan sebagai upaya mempercepat
kemajuan untuk dunia industri budaya dan pariwisata di masa yang akan datang.
Contohnya acara yang diselenggarakan
oleh Lisma Universitas Pasundan pada tanggal 24 Maret 2014 yang dihadiri oleh
330 pelajar SD, SMP, dan SMA sederajat dalam Pasanggiri Seni Sunda XIII. Acara
bertema "Ngaronjatkeun Rasa Miboga Kana Seni Sunda Pikeun Nembongkeun
Pribadi Sunda Nu Ngajaga Lemah Cai" ini diikuti pelajar se-Jawa Barat yang
memperebutkan hadiah dan piala. Dengan kategori lomba meliputi tari, puisi, dan
anggana sekar. Acara ini salah satu upaya yang dilakukan oleh generasi muda untuk
melestarikan budaya sunda di lingkungannya.
B.
Upaya-Upaya yang Harus Dilakukan Terhadap Kebudayaan Sunda yang Mulai Punah
Dikalangan Remaja
Suku Sunda merupaka suku yang
terdapat di Provinsi Jawa Barat. Suku sunda adalah salah satu suku yang
memiliki berbagai kebudayaan daerah, Salah satunya yaitu kesenian tradisional.
Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan suku bangsa di Indonesia yang
berusia tua.
Budaya daerah mempunyai peranan yang
penting dalam memperkokoh ketahanan budaya bangsa namun kenyataannya sekarang
semua itu hanya sebatas teori saja, di prakteknya sudah jarang terlihat peranan
budaya daerah tersebut. Sebagian besar akibat pengaruh dari budaya asing dan
arus modernisasi,globalisasi. Selain itu, kurangnya kesadaran masyarakat sunda
dalam menjaga dan melestarikan budaya sunda menjadi salah satu faktor penyebab
punahnya beberapa kesenian sunda. data sementara hasil inventarisasi Disparbud
Jabar pada 2010 menyatakan bahwa 40% dari 355 jenis seni budaya Sunda di
seluruh Jawa Barat memang terancam punah. Bahkan 10% di antaranya dinyatakan
sudah tidak ada lagi di masyarakat.
Beberapa kesenian budaya Sunda yang
sudah dinyatakan hilang antara lain: kesenian Honghong (Sumedang) , Uyeg
(Sukabumi), Wayang Ibuk (Cianjur), Wayang Priayi (Bandung), kesenian Angguk
(Ciamis), dan Banganan juga dari Ciamis.
Sedang kan kesenian Sunda
yang terancam punah dan segera harus diselamatakan antara lain: Celempung Awi,
Wayang Catur, Pantun Beton, Banjet, Goong Renteng, Parebut Seeng, dan Wayang
Cepak,"
Upaya-upaya yang dapat dilakukan
untuk melestarikan kebudayaan sunda:
1.
Perlindungan:
merawat, memelihara asset budaya agar tidak punah dan rusak disebabkan oleh
manusia dan alam.
2.
Pengembangan:
melaksanakan penelitian, kajian laporan, pendalaman teori kebudayaan dan
mempersiapkan sarana dan prasarana pendukung dalam penelitian.
3.
Pemanfaatan:
melaksanakan kegiatan pengemasan produk, bimbingan dan penyuluhan, kegiatan
festival dan penyebaran informasi.
4.
Pendokumentasian:
melaksanakan kegiatan pembuatan laporan berupa narasi yang dilengkapi dengan
foto dan audio visual.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jadi dalam melestarikan budaya sunda
generasi muda ikut andil dalam melestarikan budaya sunda terutama kesenian degung dengan melesetarikannya melalui pengetahuan-pengetahuan
yang didapat
B.
Saran
Kita sebagai generasi muda dan juga
orang Jawa Barat harus bisa menjaga dan melestarikan Budaya Sunda, budaya yang
telah dibuat oleh nenek moyang kita, terutama kepada generasi muda sebagai kaum
muda jangan melupakan budaya kita.
DAFTAR
PUSTAKA
Tag :
makalah kesenian degung,
sunda
1 Komentar untuk "Makalah Kesenian Degung Sunda"
* KUNJUNGI SITUS KAMI DI *
WWW.ID303.INFO
MENANG BERAPAPUN, PASTI KAMI BAYAR !!! *
* Melayani LiveChat 7 x 24 Jam Nonstop :
- WA : 08125522303
- BBM : CSID303
Panduan Taruhan Sabung Ayam S128
Agen Judi Online Sbobet
www.ayambakar.live